Ilustrasi. Sumber gambar : Pixabay |
Ini cerita biasa tentang acara reuni yang juga biasa. Reuni
kelas kami saat SMP. Tidak pakai spanduk, apalagi dresscode. Pun yang hadir hanya delapan orang. Dadakan pula. Siang
diposting di group whatsapp, sorenya kami
berkumpul.
Tempatnya di sebuah rumah makan yang menu utamanya seafood.
Pengunjung duduk lesehan menyantap hidangan yang semuanya disajikan langsung di
atas kertas laminasi. Sungguh pengalaman pertama saya makan dengan cara penyajian
seperti itu. Tapi bukan ini yang ingin saya ceritakan.
Yang membuat reuni sedikit “istimewa” ada dua hal. Pertama, ini
pertemuan perdana kami sejak lulus tiga belas tahun silam. Kedua, karena
sepasang sandal. Satu sandal milik saya, satunya milik entah siapa. Nah, ini yang ingin saya ceritakan.
Saya mengetahui satu sandal saya tertukar, pada keesokan
harinya. Setelah acara kumpul-kumpul itu. Sandal yang tertukar itu warna dan
modelnya mirip dengan milik saya.
Lampu rumah makan yang kurang terang di bagian luar, tempat
alas kaki disimpan menurut saya adalah penyebab utama. Penglihatan saya yang
mulai mengabur karena faktor usia adalah tersangka selanjutnya. Jangan-jangan
gabungan keduanya.
Pikiran saya bercabang. Beberapa pertanyaan melintas di
benak. Apakah saya harus posting dan bertanya perihal ini di group WA? Siapa
tahu sandal saya tertukar dengan salah seorang teman. Berharap tidak tertukar
dengan sandal milik pengunjung lain di rumah makan itu.
Saya urungkan untuk bertanya di group WA. Takutnya jadi bahan
bully. Bahan candaan dan tawa
teman-teman. Bisa turun harga diri saya. Harga diri saya yang saat ini sedang disandingkan
dengan sebuah sandal.
Persoalan sandal ini sekilas bukan masalah besar. Toh, ada
sandal yang lain. Atau bisa beli yang baru. Lagi pula sandal saya sudah agak
usang. Sudah cukup lama. Sudah saatnya diganti.
Tapi ini bukan soal sandal saya. Ini tentang sandal orang
lain. Hak milik orang lain. Bagi saya, sekecil apapun hak seseorang yang masih
ada dan belum saya tunaikan, itu adalah masalah besar.
-----
Akhirnya ada titik terang. Salah seorang teman memosting di
group WA bahwa satu sandalnya tertukar. Saya pun segera menyahut. Kami atur
janji agar besok saya ke rumahnya.
-----
Keesokan
hari saya pun tiba di rumah teman dan akan mengembalikan sandal itu. Tapi saya
tidak menemukan sandal saya. Saya hendak menanyakannya, namun teman saya
mendahului dengan pertanyaan yang sama “Sandal saya mana?”. Kami sama-sama bingung.
Ternyata
sandal yang saya bawa juga bukan sandal milik teman saya. Pantas sandal saya
juga tidak kelihatan. Berarti ini pertukaran segitiga. Orang ketiga kemungkinan
membawa sepasang sandal. Satu milik saya. Satu milik teman saya. Dan kami masing-masing
membawa satu sandal milik orang itu.
Semoga
saja bukan pertukaran segi empat. Dua orang lainnya membawa masing-masing satu
sandal kami, lalu saya dan teman masing-masing membawa satu sandal milik mereka.
Bisa tambah rumit. Dalam hidup saya, baru kali ini persoalan sandal menjadi
begitu kompleks.
Hingga
tulisan ini saya unggah, belum ada kepastian siapa pemilik sepasang sandal itu.
Namun teman saya berencana akan membawanya kembali ke rumah makan. Siapa tahu
ada yang datang mencari sandalnya. Lalu bagaimana dengan sandal kami? Sepertinya memang sudah waktunya diganti.(*)