"Waspadalah terhadap dunia, sesungguhnya pada halalnya terdapat hisab. Pada haramnya terdapat siksa".
“Awalnya
adalah kelelahan dan akhirnya adalah kebinasaan”.
“Yang sehat di
dunia akan menjadi tua, yang sakit akan menyesal, yang berkecukupan tergoda,
yang kekurangan bersedih, yang mencarinya akan luput darinya dan yang
menjauhinya datang padanya”.
“Orang yang
mencintainya akan buta dan orang menjadikannya pelajaran akan mendapatkan
petunjuk”.
-Copas dari FB
Foto : Kemenparekraf RI |
Februari 2008
: Yogyakarta
Pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta pas Maghrib. Sepertinya di sini baru turun hujan. Ini kali pertama saya ke Jogja.
Untuk tempat menginap
selama di Jogja, saya meminta bantuan Ida untuk mencarinya. Sebelum menuju
Pintu Keluar bandara, saya berdoa dulu : semoga niat baik ini, berakhir juga
dengan baik, Aamiin.
Setelah beberapa
langkah menuju Pintu Keluar, belum ada seorang pun menyambut saya. Sedangkan
penumpang lain sudah disambut keluarga maupun penjemput lainnya. Ida mana ya? Jangan-jangan
dia gak jadi jemput? Mana saya tidak tahu sama sekali jalan di Jogja.
Lalu saya menoleh ke arah tempat duduk penumpang. Saya lihat ada seorang gadis berjilbab berjalan dengan tergesa-gesa. Saya terus melihatnya.
Apakah itu Ida? Lalu gadis itu juga memandang ke arah saya. Kami saling bertatapan beberapa saat. Kemudian dia tersenyum dan terus menatapku dengan tatapan syahdu. Tatapan yang membuatku teringat salah satu baris puisi di film Ada Apa Dengan Cinta :
"Lalu sekali ini aku melihat karya Surga dari mata seorang hawa"
Ia lalu berjalan ke arah saya. Setelah ia mendekat barulah saya pastikan bahwa ini adalah perempuan yang bernama Ida itu.
Wow, ternyata lebih cantik dari fotonya. Saat itu hati saya bergumam : “Dian Sastro kalau pakai jilbab, mungkin mirip Ida ini?”. Kami pun berjalan menuju taxi. Ida menjemput saya dengan ditemani Ratih, teman kuliahnya.
Eh, tunggu dulu,
darimana Ida tahu kalau itu saya? Kok tiba-tiba dia berjalan, tersenyum dan
seakan-akan udah pernah lihat saya sebelumnya.
“Tadi kamu bisa
langsung kenal saya ya?
“Kan pernah lihat
fotonya Kak An di rumahnya waktu saya berkunjung Lebaran lalu,” jawabnya. Saat itu saya masih berada di Makassar dan memang jarang pulang ke Bima.
Karena Ibu kami mengajar di sekolah yang sama, kadang mereka saling berkunjung gitu.
Alhamdulillah, artinya dia bisa menerima wajah saya yang ala kadarnya
ini. Semoga juga bisa menerima sifat saya yang masih banyak kekurangannya.
Perjalanan masih akan sangat panjang untuk menentukan cocok atau tidaknya.
Saat kami bertiga berjalan menuju tempat taxi, Ida tiba-tiba berkata :
“Sini Kak, saya bawain jaketnya,” katanya dengan suara lembut.
Lalu aku memberikan jaket sambil
menatap syahdu matanya yang bening. Ia menatap balik dengan senyuman manis. Masya
Allah, nikmat Tuhan manakah yang aku dustakan?.(*)
Gambar : Getty Images |
Februari 2008
Deg-degan juga
rasanya. Di layar informasi, dua penerbangan sebelum jadwal keberangkatan saya ke
Jogja tiba-tiba tertulis “cancelled”. Maskapainya pun sama dengan saya. Sore itu
saya sedang berada di ruang tunggu Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.
“Aduh,
jangan-jangan penerbangan saya juga dibatalkan. Kalau sampai batal berangkat,
mungkin dia bukan jodohku,” batinku saat itu. Tega-teganya saya mengaitkan
urusan jodoh yang sepenuhnya di tangan Tuhan dengan pembatalan jadwal
keberangkatan pesawat.
Sejak Oktober
2007, saya dan Ida hanya berkenalan melalui telepon, SMS, email dan sesekali
via Yahoo Messenger (YM). Dari obrolan itu, kami sepakat menjalani
hubungan “Tahu Sama Tahu”. Artinya kami nggak pacaran, tapi dalam hati
masing-masing kami sepakat untuk lebih mengenal satu sama lain. Tentu dengan niat menuju ikatan suci pernikahan. Jika cocok.
Keberangkatan
saya ke Jogja ini dalam rangka menemuinya langsung untuk pertama kalinya. Saya
pernah melihat beberapa foto yang ia kirim via email, jadi sedikit banyaknya
saya tahu wajahnya. Orangnya cantik dan ada manis-manisnya gitu.
Sedangkan saya,
memilih untuk tidak mengirim foto diri. Takut ketika dia melihat foto
saya, dia berubah pikiran mengenai hubungan kami. Jadi ketika kami nanti
bertemu di Jogja, itulah kali pertama dia melihat saya. Semoga saja dia tidak kabur.
Lalu terdengar suara pengumuman :
“Para penumpang pesawat Merpati Nusantara Airlines, dengan
nomor penerbangan (saya lupa), tujuan Makassar – Yogyakarta, dipersilahkan naik
ke pesawat udara melalui pintu nomor (entah 1 atau 2, saya lupa juga – gak
penting lah ya)”.
Saya pun berdiri,
mengambil tas dan jaket. Ada perasaan senang yang menyeruak, ada juga
gelisah yang merebak. Apakah ini berarti dia jodoh saya? Ah, lagi-lagi batin
saya mencoba menyimpulkan sesuatu yang sakral dengan hal yang masih sangat
dini.
Untuk menenangkan
diri, saya ingat kembali kalimat yang pernah saya baca : “Jodoh itu takdir. Takdir
itu sudah tertakar, maka dia tidak akan pernah tertukar”.(*)
Sumber Gambar |
“Sudah ada calon
istrimu nak?” tanya Ibuku melalui percakapan telepon. Kalimat pertanyaan tapi
yang saya rasakan senada dengan kalimat perintah : “Cepatlah menikah kau nak!”.
Entah, dalam bulan ini saja sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan.
Saat itu umur
saya 26 tahun, bekerja sebagai reporter di salah satu koran harian di Kota
Makassar. Mungkin menurut Ibu saya, usia seperti itu sudah waktunya menikah.
Tapi kan menikah itu urusan hati. Saat itu hati saya masih belum sepenuhnya
siap (baca : belum punya calon).
Kok belum punya
calon? Sudah putus atau bagaimana? Atau masih proses penjajakan? Panjang kalau
diceritakan. Yang jelas, saat itu saya memang lagi sendiri dan belum terikat
dalam komitmen apapun dengan perempuan. Kondisi hati saya saat itu,
Alhamdulillah cuma retak dikit.
***
Beberapa hari
kemudian ponsel saya kembali berdering. Di layar terlihat nama penelpon “Mama
Home” yang berarti ini dari Ibuku. Setiap menerima telepon dari orangtuaku,
sebelum mengangkat teleponnya, saya selalu berdoa dulu dalam hati : “Semoga
semuanya baik-baik dan sehat-sehat, Aamiin”.
Entahlah, kadang
agak parno terima telepon dari orangtua. Khawatir dapat berita mereka lagi
sakit atau kabar duka dari keluarga lainnya. Maklum, jauh dari kampung halaman
membuat kepedulianku hanya bisa tersalurkan lewat Doa, meskipun hati sangat
ingin berdekatan fisik dengan mereka.
“Nak, mau nggak
mama kenalin dengan anak teman mengajar mama??,” tanya ibu to the point
sesaat setelah menjawab salamku. Seperti biasa, kalimat pertanyaan dari ibuku
memiliki energi seperti kalimat perintah. Ibuku bekerja sebagai guru di salah
satu Sekolah Dasar di Bima.
Yang pertama kali
terlintas di batinku : “Alhamdulillah, dari kalimat pertama ibuku saya
menyimpulkan, orangtua dan keluargaku dalam keadaan sehat semua”. Yang kedua,
saya akan turuti permintaan Ibu. Bagi saya tidak ada salahnya berkenalan dengan
siapapun, hitung-hitung silaturahmi.
Prinsip saya, yang penting ketika awal kenalan dengan wanita, saya harus mampu mengukur kata-kata yang diucapkan dan mencerna kalimat-kalimat yang diterima.
Sehingga
saya jangan sampai terkesan memberikan harapan juga sekaligus saya jangan
terlalu berharap lebih ke dia. Saya berprinsip : "Jangan pernah mengambil hati yang tidak bisa kamu jaga".
Informasi dari
Ibu saya, anak temannya mengajar ini namanya Ida, sedang kuliah di Jogja, sudah
semester akhir. Katanya saat ini ia sedang berada di Bima, lagi liburan menjelang Idul Fitri. Saya pun meminta Ibu saya untuk meminta nomor ponselnya
Ida langsung ke orangnya.
“Ma, waktu mama
minta nomor HP-nya Ida itu, bilang kalau saya yang meminta dengan tujuan ingin
kenalan. Jadi dia punya opsi untuk memberi atau tidak memberi, pokoknya jangan
memaksa,” ucap saya ke Ibu saya.
Kenapa hal itu
harus diperjelas dari awal? Menurut saya, tidak elok rasanya saya menelpon
seorang cewek dari nomor yang tiba-tiba saya dapatkan dari entah siapa.
Lagipula cewek itu mungkin udah punya cowok dan tidak bersedia berkenalan
dengan cowok lain yang tidak jelas maksud dan tujuannya.
Beberapa hari
kemudian akhirnya saya mendapatkan nomornya Ida dari ibu saya. Setelah saya
pastikan bahwa Ibu saya mengikuti protap permintaan nomor telepon sesuai yang
saya minta, akhirnya saya pun menghubunginya.
“Assalamualaikum.
Dengan Ida ya?”. Lalu dia menjawab salamku dengan suara yang begitu indah. Saya
sempat terdiam beberapa saat sampai akhirnya kembali tersadar dan langsung memperkenalkan
diri. Obrolan saat itu sangat singkat tapi di sinilah perjalanan panjang itu
berawal.(*).
Ali bin Abi
Thalib berkata:
"Jika
perkataan keluar dari hati, maka ia akan berpengaruh terhadap hati, dan jika ia
keluar dari lidah, maka ia tidak akan mencapai telinga."
"Barangsiapa yang telah kehilangan keutamaan kejujuran
dalam pembicaraannya, maka
dia telah kehilangan akhlaknya yang termulia.
"Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang
terpercaya, menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan
saudara."
“Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai puncak
setiap makrifah dan ilmu.”
“Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri
kalian, karena kalau kalian
bodoh dengan itu, berarti kalian bodoh dengan segala hal.”
"Cukuplah pengetahuan seseorang itu, kalau mengetahui
hakikat dirinya, dan cukuplah
kebodohannya, kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”
"Kekayaan yang paling besar adalah akal (kecerdaasan). Akal tampak melalui
pergaulan, sedangkan kejahatan seseorang diketahui ketika dia berkuasa”
“Akal
adalah raja, sedangkan tabiat adalah rakyatnya. Jika akal lemah untuk mengatur tabiat itu, maka akan timbul
kecacatan padanya”
“Akal lebih diutamakan
daripada hawa nafsu, karena akal menjadikanmu sebagai pemilik zaman, sedangkan
hawa nafsu memperbudakmu untuk zaman”
“Makanan pokok
tubuh adalah makanan, sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah. Maka, kapan
saja hilang salah satu dari keduanya makanan pokoknya, binasalah ia dan
lenyap."(*).
unsplash.com/@natural |
Postingan ini adalah Copas dari FB
Isi postingan di bawah ini, terutama sebagai pengingat untuk diri saya yang memiliki banyak sekali dosa.
Semoga saya dan kita semua bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum datang hari di mana jejak langkah kita akan terhenti.
Sekalipun seseorang mengingat kematian, belum tentu ia serius
dalam menyikapinya.
Siapa yang mau percaya
bahwa akan ada suatu hari di mana seseorang akan dipisahkan dari
sahabat-sahabatnya, dijauhkan dari kerabat dan keluarga tercinta, dipaksa
meninggalkan harta benda yang dibanggakannya?
Sampai akhirnya
ia benar-benar mengalami sendiri tibanya hari itu, saat ia dibaringkan di dalam
kubur sendirian.
Ketika waktu perpisahan itu mulai mendekat dan saat
perjalanan itu telah tiba, dengan perih dan sedih, bingung, sakit dan gelisah,
ditandai dengan sesaknya nafas, keringnya air liur.
Tibalah waktunya untuk memanggil kerabat dan sanak saudara
guna membantu mengubah posisi tubuhnya di
tempat tidur.
Maka mampukah di saat seperti itu sanak kerabat menghentikan kematian?
Sebaliknya, ia malah akan ditinggal sendirian di liang sempit kuburnya.(*)
Ada dua kalimat dari dua orang yang berbeda yang pernah memberi warna dalam hidup saya.
Yang pertama, nasehat senior saya di Kosmik Unhas saat saya proses mengerjakan skripsi. Saat itu dia bertanya tentang progres pengerjaan skripsi saya. Karena memang skripsinya belum selesai, saya menceritakan apa adanya.
Lalu senior saya
menanggapi dengan mengatakan bahwa saya terlalu mencari kesempurnaan dalam
mengerjakan skripsi.
“Tujuan kita
adalah membuat skripsi sebaik mungkin. Tapi kalau kesempurnaan yang kamu cari,
gak bakalan selesai skripsimu. Pasti akan ada terus salahnya, pasti akan ada
perasaan masih kurang di sini, masih kurang di situ. Kerjakan sebaik mungkin
dan segera ajukan ke pembimbing,” katanya.
Mendengar nasehat itu, perasaan was-was, cemas, atau istilah sekarang “galau”, tiba-tiba hilang. Yang ada malah semangat untuk segera membenahi skripsi saya.
Alhamdulillah
beberapa bulan kemudian akhirnya bisa juga menelpon orang tua di kampung untuk
menghadiri wisuda saya di Makassar.
“Pa.. Ma..., Alhamdulillah saya barusan Yudisium.
Segera atur jadwal ke Makassar ya,” ujarku via telepon.
Setelah ucapan
syukur dan haru-biru mendengar kabar gembira tersebut, Ibu saya kemudian
menanyakan sesuatu hal yang menurutnya sangat teramat penting.
“Kamu sudah punya
calon nak?”
“Calon apa Ma..?”
“Calon istri
dong. Maksudnya kamu di sana sudah punya pacar atau belum?”
“Hmm, halo Ma.. Halo..
Haloo...gak jelas apa yang mama bilang. Sinyal lagi jelek kayaknya Ma,” saya
pun menutup telepon.
***
Kalimat kedua
yang memberi warna bahkan mengubah jalan hidup saya adalah dari junior saya di
Kosmik Unhas. Saat itu tahun 2010. Kami berdua sama-sama bekerja sebagai
reporter di dua Surat Kabar Harian yang berbeda. Kebetulan saat itu kami
ditempatkan di daerah liputan yang sama yaitu Kabupaten Bone – kurang lebih 4
jam perjalanan darat dari Makassar. Junior itu baru saja melangsungkan
pernikahan, namun dia LDR dengan istrinya yang bekerja di Makassar.
Saat itu saya
lagi galau, pengen banget nikah tapi belum tahu waktu yang tepat untuk melamar pujaan
hati yang telah saya kenal sejak tahun 2007. Saya tidak pernah cerita
kegundahan saya sama junior saya, tapi memang sepertinya obrolan malam itu sempat
menyerempet soal pernikahan. Lalu junior saya bilang begini :
“Keberanian
laki-laki untuk melamar wanita ke jenjang pernikahan itu bukan soal seberapa
dalam cinta laki-laki kepada wanitanya. Tapi persoalan sudah siapkah laki-laki itu
menjadi pria yang bertanggungjawab???”
Kalimat itu menyentakku. Dengan berbagai maksud dan maknanya, kalimat itu membuat saya tersadar bahwa waktu memang sebaiknya jangan diulur, tapi dimanfaatkan sebaik mungkin tiap detiknya untuk setiap kesempatan yang Tuhan berikan.
Hal yang terpenting juga adalah menjawab pertanyaan untuk diri saya sendiri : sudah siapkah saya untuk bertanggungjawab?
Gak pake lama,
saya langsung gerak cepat. Menyiapkan segala sesuatunya dan tentu yang paling
penting adalah bagaimana mendapatkan kata “bersedia” dari sang pujaan hati atas
pertanyaan saya “Would you marry me?”.
Alhamdulillah,
atas karunia dan ijin Allah SWT, akhirnya saya dan pujaan hati melangsungkan
pernikahan beberapa bulan setelah obrolan dengan junior saya itu.
***
Kadang, hal-hal
yang baik dalam hidup kita datang dari mendengarkan masukan dan nasehat orang
lain. Dua kalimat dari senior dan junior saya itu, kalau saya hanya
menganggapnya sebagai angin lalu, mungkin skripsi saya bakal lama selesai dan
mungkin saya belum menikah juga. Saya teringat sebuah kutipan ini :
“Selama manusia tidak mengambil pelajaran untuk dirinya. Selama ia tidak merendahkan dirinya. Nasehat apa pun tidak akan berpengaruh baginya. Selama masih ada keakuan, ribuan buku pun takkan menghasilkan perubahan”
Semoga saya dan kita semua tetap dapat menjadi orang yang mau mengambil butir hikmah pada setiap kata yang terucap atau nasehat yang terbaca dari apa dan siapapun sumbernya. Selama nasehatnya baik, kita harus mau membuka diri dan semoga itu terhitung sebagai ikhtiar kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, Aamiin.(*)
Sumber Gambar : buzzfeed.com |
“Ujian pertama manusia adalah putus asanya”
"Jika Ia berhasil mengalahkan putus asanya, ia akan
menjadi orang hebat dan
sukses"
"Ujian paling akhir setelah mengalahkan putus asa bagi
manusia setelah memperoleh
kesuksesan dan harta adalah bangga
dirinya"
" Karena putus asa dan bangga diri adalah
sumber dan faktor segala kerusakan dan kejahatan manusia di dunia ini".(*)
" Jika seseorang tidak jatuh cinta, dia akan menjadi
tua dengan cepat dan kehilangan kemurnian masa mudanya”
" Jika
dia tidak bijaksana, dia akan menjadi dewasa akan tetapi dalam ketidaktahuan
(kebodohan) seperti seorang anak kecil”
" Cinta yang salah tempat mengambil alih Akal dan Akal yang salah tempat ( memaksakan kebenaran) akan
menghancurkan cinta”
" Kecerdasan yang salah tempat berarti terus-menerus berada dalam pikiran
dunia, dan cinta yang salah tempat berarti tertarik pada selain Tuhan”.
-Copas dari FB-
Sumber Gambar : studioantelope.com |
Terkadang, hal-hal yang paling esensi dalam hidup
adalah hal-hal yang mungkin kita anggap klise, terkadang kita anggap suatu hal
yang remeh. Tapi percayalah, kadang akan ada satu titik dalam hidup kita, di
mana pemahaman kita tentang hal-hal yang kita anggap klise itu benar-benar
dibutuhkan.
Pemahaman kita
tentang hukum karma, tentang cinta, tentang memahami perasaan orang, tentang
kesabaran, itu akan diuji. Yang kita butuhkan saat itu justru terkait pemahaman
sederhana tentang hal-hal yang klise tadi.
Misalnya nasehat
: Sabar adalah salah satu kunci kesuksesan. Ah, klise banget. Tapi pada titik
tertentu kita akan diuji untuk memiliki rasa sabar karena keadaan tertentu. Mari
kita mulai membangun hidup dengan mengikuti nasehat sederhana namun bisa sangat
berarti ketika menjalaninya.(*)
Jika kamu jatuh
cinta pada wanita yang pernah terluka begitu dalam dan dia mau membuka hatinya
untukmu, ingatlah selalu bahwa kesempatan yang dia berikan, bukan karena dia
membutuhkanmu. Pengalaman telah mengajarkan mereka untuk mandiri dan sedapat
mungkin tidak memerlukan orang lain.
Jika dia membuka
hatinya, itu karena dia menginginkanmu. Maka jadilah pria yang bersyukur,
karena cinta yang akan kamu dapatkan, itulah semurni-murninya cinta dari
seorang wanita kepada pria. Tentu pria yang saya maksud di sini bukan anak atau
saudara, tapi pria yang bisa menjalin ikatan pernikahan dengan wanita tersebut.(*)
Dok. Pribadi. Sore di atas tanjakan Amahami |
Di sebuah sore yang indah, seorang suami membonceng
istrinya untuk jalan-jalan. Dalam perjalanan, terjadilah dialog ini :
Suami : “Bunda mau
makan apa”?
Istri : “Terserah
ayah”
Suami : “Bakso”?
Istri : “Lagi
nggak mau makan bakso”
Suami : “Mie Ayam”?
Istri : “Jangan
dulu. Kemarin kan baru makan Mie Ayam”
15 menit kemudian akhirnya pasangan itu duduk
di warung makan di tanjakan gunung jalan samping Pom Bensin Amahami. Menyantap dengan lahapnya dua
porsi Mie Ayam Bakso.(*)
Dok. Pribadi. Akad Nikah , Oktober 2010 |
“Gak usah belajar-belajar lagi soal percintaan, kamu kan udah nikah”. Begitu kata seorang teman. Mungkin hal ini dia katakan karena melihat saya kerap memosting di beberapa platform media sosial tentang nasehat percintaan atau pernikahan.
Hmm, dia tidak tahu kalo nasehat-nasehat yang saya
posting itu sebenarnya saya tujukan untuk diri saya sendiri. Tapi jika itu bisa
bermanfaat buat orang lain, Alhamdulillah. Jika nasehat itu benar, itu dari
Tuhan. Jika salah, murni itu dari saya.
Kenapa kita harus terus belajar tentang apapun, termasuk
soal percintaan dan pernikahan? Karena bagi saya, justru pemahaman tentang cinta
sebenarnya diuji ketika seseorang terikat dengan tanggungjawab dalam sebuah
relasi yang disebut pernikahan. Ini bukan tentang hubungan pacaran yang ngambek
sedikit putus, kecewa sedikit bubar, cemburu sedikit perang.
Pernikahan adalah bentuk komitmen di mana setiap detik
orang bisa diuji dan di saat yang sama, yang harus dia kedepankan adalah
keteguhannya untuk bertahan serta tidak melanggar komitmen kesetiaan hanya
karena keadaan.
Karena hampir tidak ada satu pasangan pun di dunia ini
yang bisa menjamin apa yang akan terjadi ke depannya. Apakah itu terdengar
seperti hal yang mudah? Jika itu sulit, lalu kenapa kita harus berhenti untuk
belajar?
Karena dia dinamis dengan segala kerumitannya, yang bisa kita lakukan adalah terus belajar dan berusaha yang terbaik untuk mempertahankan hubungan demi kebahagiaan bersama.
Entah nanti apakah pasangan
itu akan dipisah oleh ajal atau oleh putusan pengadilan, yang penting usahakan
dulu yang terbaik serta jaga sekuat mungkin komitmen untuk bersama.
Semoga kebahagiaan selalu menyertai semua pasangan
suami-istri di mana pun berada dan semoga Allah memberikan keharmonisan dalam menjalani kehidupan bersama di
dunia dan mereka kelak kembali dipersatukan oleh Allah di Surga-NYA, Aamiin.(*)
Begitu malunya diri saya kala bercermin pada nasehat Ali bin Abi Thalib. Betapa saya ini memang seorang pendosa.
Astaghfirullah
Dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib berkata :
JANGAN menjadi seperti seorang yang :
-mendambakan
kehidupan penuh rahmat di akhirat
tapi tak beramal untuknya.
-menunda-nunda
taubat karena panjangnya angan-angan.
-Berbicara tentang dunia bak seorang yang zuhud namun ia
berbuat untuk dunia sebagai pencintanya.
-Jika diberi kepadanya tidak merasa puas, kala ditahan
pemberiannya ia tidak terima.
-Ia lalai bersyukur atas karunia yang didatangkan kepadanya,
selalu merasa kurang dari apa yang telah didapatkannya.
-Mencegah orang lain melakukan dosa, sementara ia sendiri terus melakukannya.
-Menyuruh orang lain melakukan kebajikan sementara ia
sendiri tidak mengerjakannya.
-Mencintai orang-orang
yang berbuat baik tapi dia enggan melakukan kebaikan.
-Membenci orang-orang
yang berbuat jahat tapi ia satu di antara
mereka.
-Ia takut akan kematian disebabkan banyak dosa-dosanya tapi tidak menahan diri dari
berbuat dosa.
-Bila jatuh sakit ia menyesali dirinya, saat kembali sehat
merasa aman untuk berbuat sia-sia.
-Ia merasa kagum terhadap dirinya tapi bila tertimpa musibah
ia merasa putus asa.
-Ketika ia dilanda kesusahan ia berdoa layaknya orang penuh
penyesalan.
-Saat ia mendapatkan kelimpahan ia berpaling dengan
keangkuhan.
-Merasa tertipu oleh nafsunya karena prasangkanya, tapi tak mampu melawan nafsunya dengan keyakinan
yang telah dimilikinya.
-Khawatir terhadap ( perbuatan buruk) orang lain padahal
lebih kecil daripada perbuatan buruk dirinya.
-Menganggap dirinya layak mendapatkan ganjaran besar
sementara amal perbuatanya sedikit.
-Bila mendapat kekayaan merasa dirinya gagah dan hebat,
tetapi bila jatuh miskin merasa lemah dan hina.
-Singkat ketika beramal, namun merengek panjang kala memohon.
-Bilamana tergoda oleh syahwat nafsunya ia cepat melakukan
maksiat dan mengundurkan taubatnya.
-Bila dilanda ujian
ia keluar dari ketentuan-ketentuan
agamanya ( mencari pelarian )
-Begitu pandai menggambarkan pelajaran di balik kehidupan tapi ia sendiri tidak
mengambil pelajaran.
-Lihai menyadarkan orang lain namun dirinya sendiri tak
sadar.
-Pandai berbicara tapi sedikit beramal.
-Ia mendambakan hal fana sesuatu yang pasti akan ia tinggalkan
namun mengabaikan hal-hal
yang abadi untuknya.
-Sesuatu yang membawanya pada keberuntungan dianggapnya
sebagai kerugian, tapi sesuatu yang akan merugikannya dianggap hal yang
menguntungkan.
-Ia takut mati, tapi tidak berbuat sesuatu untuk
menghadapinya.
-Menganggap besar dosa dan kesalahan orang lain namun
memandang kecil dosa dan kesalahannya.
-Menganggap dirinya telah banyak berbuat dan taat kepada
Allah namun menganggp remeh perbuatan dan ketaatan orang lain.
-Menganggap
dirinya adalah parameter kebaikan padahal dirinya adalah penjilat.
-Duduk berfoya-foya
bersama orang kaya lebih disukainya daripada duduk mengingat Allah bersama
orang miskin.
-Mengecam perlakuan buruk orang terhadap dirinya, namun
tidak mau dikecam perlakuan buruknya terhadap orang lain.
-Ia memberi jalan petunjuk pada orang lain namun dirinya
sendiri lalai.
-Ia ingin ditaati tapi bermaksiat.
-Meminta dipenuhi haknya tapi tidak memenuhi hak orang lain
.
-Takut kepada makhluk dan mengabaikan Tuhannya.
-Tidak takut kepada Tuhannya kala berurusan dengan makhlukNya.