Ada dua kalimat dari dua orang yang berbeda yang pernah memberi warna dalam hidup saya.
Yang pertama, nasehat senior saya di Kosmik Unhas saat saya proses mengerjakan skripsi. Saat itu dia bertanya tentang progres pengerjaan skripsi saya. Karena memang skripsinya belum selesai, saya menceritakan apa adanya.
Lalu senior saya
menanggapi dengan mengatakan bahwa saya terlalu mencari kesempurnaan dalam
mengerjakan skripsi.
“Tujuan kita
adalah membuat skripsi sebaik mungkin. Tapi kalau kesempurnaan yang kamu cari,
gak bakalan selesai skripsimu. Pasti akan ada terus salahnya, pasti akan ada
perasaan masih kurang di sini, masih kurang di situ. Kerjakan sebaik mungkin
dan segera ajukan ke pembimbing,” katanya.
Mendengar nasehat itu, perasaan was-was, cemas, atau istilah sekarang “galau”, tiba-tiba hilang. Yang ada malah semangat untuk segera membenahi skripsi saya.
Alhamdulillah
beberapa bulan kemudian akhirnya bisa juga menelpon orang tua di kampung untuk
menghadiri wisuda saya di Makassar.
“Pa.. Ma..., Alhamdulillah saya barusan Yudisium.
Segera atur jadwal ke Makassar ya,” ujarku via telepon.
Setelah ucapan
syukur dan haru-biru mendengar kabar gembira tersebut, Ibu saya kemudian
menanyakan sesuatu hal yang menurutnya sangat teramat penting.
“Kamu sudah punya
calon nak?”
“Calon apa Ma..?”
“Calon istri
dong. Maksudnya kamu di sana sudah punya pacar atau belum?”
“Hmm, halo Ma.. Halo..
Haloo...gak jelas apa yang mama bilang. Sinyal lagi jelek kayaknya Ma,” saya
pun menutup telepon.
***
Kalimat kedua
yang memberi warna bahkan mengubah jalan hidup saya adalah dari junior saya di
Kosmik Unhas. Saat itu tahun 2010. Kami berdua sama-sama bekerja sebagai
reporter di dua Surat Kabar Harian yang berbeda. Kebetulan saat itu kami
ditempatkan di daerah liputan yang sama yaitu Kabupaten Bone – kurang lebih 4
jam perjalanan darat dari Makassar. Junior itu baru saja melangsungkan
pernikahan, namun dia LDR dengan istrinya yang bekerja di Makassar.
Saat itu saya
lagi galau, pengen banget nikah tapi belum tahu waktu yang tepat untuk melamar pujaan
hati yang telah saya kenal sejak tahun 2007. Saya tidak pernah cerita
kegundahan saya sama junior saya, tapi memang sepertinya obrolan malam itu sempat
menyerempet soal pernikahan. Lalu junior saya bilang begini :
“Keberanian
laki-laki untuk melamar wanita ke jenjang pernikahan itu bukan soal seberapa
dalam cinta laki-laki kepada wanitanya. Tapi persoalan sudah siapkah laki-laki itu
menjadi pria yang bertanggungjawab???”
Kalimat itu menyentakku. Dengan berbagai maksud dan maknanya, kalimat itu membuat saya tersadar bahwa waktu memang sebaiknya jangan diulur, tapi dimanfaatkan sebaik mungkin tiap detiknya untuk setiap kesempatan yang Tuhan berikan.
Hal yang terpenting juga adalah menjawab pertanyaan untuk diri saya sendiri : sudah siapkah saya untuk bertanggungjawab?
Gak pake lama,
saya langsung gerak cepat. Menyiapkan segala sesuatunya dan tentu yang paling
penting adalah bagaimana mendapatkan kata “bersedia” dari sang pujaan hati atas
pertanyaan saya “Would you marry me?”.
Alhamdulillah,
atas karunia dan ijin Allah SWT, akhirnya saya dan pujaan hati melangsungkan
pernikahan beberapa bulan setelah obrolan dengan junior saya itu.
***
Kadang, hal-hal
yang baik dalam hidup kita datang dari mendengarkan masukan dan nasehat orang
lain. Dua kalimat dari senior dan junior saya itu, kalau saya hanya
menganggapnya sebagai angin lalu, mungkin skripsi saya bakal lama selesai dan
mungkin saya belum menikah juga. Saya teringat sebuah kutipan ini :
“Selama manusia tidak mengambil pelajaran untuk dirinya. Selama ia tidak merendahkan dirinya. Nasehat apa pun tidak akan berpengaruh baginya. Selama masih ada keakuan, ribuan buku pun takkan menghasilkan perubahan”
Semoga saya dan kita semua tetap dapat menjadi orang yang mau mengambil butir hikmah pada setiap kata yang terucap atau nasehat yang terbaca dari apa dan siapapun sumbernya. Selama nasehatnya baik, kita harus mau membuka diri dan semoga itu terhitung sebagai ikhtiar kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, Aamiin.(*)
0 komentar