Jelang 11 Tahun. Bagian 1 : Suara itu

By Muhammad Anshor - September 26, 2021

Sumber Gambar
Oktober 2007 (Bulan Puasa)

“Sudah ada calon istrimu nak?” tanya Ibuku melalui percakapan telepon. Kalimat pertanyaan tapi yang saya rasakan senada dengan kalimat perintah : “Cepatlah menikah kau nak!”. Entah, dalam bulan ini saja sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan.

Saat itu umur saya 26 tahun, bekerja sebagai reporter di salah satu koran harian di Kota Makassar. Mungkin menurut Ibu saya, usia seperti itu sudah waktunya menikah. Tapi kan menikah itu urusan hati. Saat itu hati saya masih belum sepenuhnya siap (baca : belum punya calon).

Kok belum punya calon? Sudah putus atau bagaimana? Atau masih proses penjajakan? Panjang kalau diceritakan. Yang jelas, saat itu saya memang lagi sendiri dan belum terikat dalam komitmen apapun dengan perempuan. Kondisi hati saya saat itu, Alhamdulillah cuma retak dikit.

***

Beberapa hari kemudian ponsel saya kembali berdering. Di layar terlihat nama penelpon “Mama Home” yang berarti ini dari Ibuku. Setiap menerima telepon dari orangtuaku, sebelum mengangkat teleponnya, saya selalu berdoa dulu dalam hati : “Semoga semuanya baik-baik dan sehat-sehat, Aamiin”.

Entahlah, kadang agak parno terima telepon dari orangtua. Khawatir dapat berita mereka lagi sakit atau kabar duka dari keluarga lainnya. Maklum, jauh dari kampung halaman membuat kepedulianku hanya bisa tersalurkan lewat Doa, meskipun hati sangat ingin berdekatan fisik dengan mereka.

“Nak, mau nggak mama kenalin dengan anak teman mengajar mama??,” tanya ibu to the point sesaat setelah menjawab salamku. Seperti biasa, kalimat pertanyaan dari ibuku memiliki energi seperti kalimat perintah. Ibuku bekerja sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar di Bima.

Yang pertama kali terlintas di batinku : “Alhamdulillah, dari kalimat pertama ibuku saya menyimpulkan, orangtua dan keluargaku dalam keadaan sehat semua”. Yang kedua, saya akan turuti permintaan Ibu. Bagi saya tidak ada salahnya berkenalan dengan siapapun, hitung-hitung silaturahmi.

Prinsip saya, yang penting ketika awal kenalan dengan wanita, saya harus mampu mengukur kata-kata yang diucapkan dan mencerna kalimat-kalimat yang diterima. 

Sehingga saya jangan sampai terkesan memberikan harapan juga sekaligus saya jangan terlalu berharap lebih ke dia. Saya berprinsip : "Jangan pernah mengambil hati yang tidak bisa kamu jaga".

Informasi dari Ibu saya, anak temannya mengajar ini namanya Ida, sedang kuliah di Jogja, sudah semester akhir. Katanya saat ini ia sedang berada di Bima, lagi liburan menjelang Idul Fitri. Saya pun meminta Ibu saya untuk meminta nomor ponselnya Ida langsung ke orangnya.

“Ma, waktu mama minta nomor HP-nya Ida itu, bilang kalau saya yang meminta dengan tujuan ingin kenalan. Jadi dia punya opsi untuk memberi atau tidak memberi, pokoknya jangan memaksa,” ucap saya ke Ibu saya.

Kenapa hal itu harus diperjelas dari awal? Menurut saya, tidak elok rasanya saya menelpon seorang cewek dari nomor yang tiba-tiba saya dapatkan dari entah siapa. Lagipula cewek itu mungkin udah punya cowok dan tidak bersedia berkenalan dengan cowok lain yang tidak jelas maksud dan tujuannya.

Beberapa hari kemudian akhirnya saya mendapatkan nomornya Ida dari ibu saya. Setelah saya pastikan bahwa Ibu saya mengikuti protap permintaan nomor telepon sesuai yang saya minta, akhirnya saya pun menghubunginya.

“Assalamualaikum. Dengan Ida ya?”. Lalu dia menjawab salamku dengan suara yang begitu indah. Saya sempat terdiam beberapa saat sampai akhirnya kembali tersadar dan langsung memperkenalkan diri. Obrolan saat itu sangat singkat tapi di sinilah perjalanan panjang itu berawal.(*).



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar