Sumber Gambar |
“Sudah ada calon
istrimu nak?” tanya Ibuku melalui percakapan telepon. Kalimat pertanyaan tapi
yang saya rasakan senada dengan kalimat perintah : “Cepatlah menikah kau nak!”.
Entah, dalam bulan ini saja sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan.
Saat itu umur
saya 26 tahun, bekerja sebagai reporter di salah satu koran harian di Kota
Makassar. Mungkin menurut Ibu saya, usia seperti itu sudah waktunya menikah.
Tapi kan menikah itu urusan hati. Saat itu hati saya masih belum sepenuhnya
siap (baca : belum punya calon).
Kok belum punya
calon? Sudah putus atau bagaimana? Atau masih proses penjajakan? Panjang kalau
diceritakan. Yang jelas, saat itu saya memang lagi sendiri dan belum terikat
dalam komitmen apapun dengan perempuan. Kondisi hati saya saat itu,
Alhamdulillah cuma retak dikit.
***
Beberapa hari
kemudian ponsel saya kembali berdering. Di layar terlihat nama penelpon “Mama
Home” yang berarti ini dari Ibuku. Setiap menerima telepon dari orangtuaku,
sebelum mengangkat teleponnya, saya selalu berdoa dulu dalam hati : “Semoga
semuanya baik-baik dan sehat-sehat, Aamiin”.
Entahlah, kadang
agak parno terima telepon dari orangtua. Khawatir dapat berita mereka lagi
sakit atau kabar duka dari keluarga lainnya. Maklum, jauh dari kampung halaman
membuat kepedulianku hanya bisa tersalurkan lewat Doa, meskipun hati sangat
ingin berdekatan fisik dengan mereka.
“Nak, mau nggak
mama kenalin dengan anak teman mengajar mama??,” tanya ibu to the point
sesaat setelah menjawab salamku. Seperti biasa, kalimat pertanyaan dari ibuku
memiliki energi seperti kalimat perintah. Ibuku bekerja sebagai guru di salah
satu Sekolah Dasar di Bima.
Yang pertama kali
terlintas di batinku : “Alhamdulillah, dari kalimat pertama ibuku saya
menyimpulkan, orangtua dan keluargaku dalam keadaan sehat semua”. Yang kedua,
saya akan turuti permintaan Ibu. Bagi saya tidak ada salahnya berkenalan dengan
siapapun, hitung-hitung silaturahmi.
Prinsip saya, yang penting ketika awal kenalan dengan wanita, saya harus mampu mengukur kata-kata yang diucapkan dan mencerna kalimat-kalimat yang diterima.
Sehingga
saya jangan sampai terkesan memberikan harapan juga sekaligus saya jangan
terlalu berharap lebih ke dia. Saya berprinsip : "Jangan pernah mengambil hati yang tidak bisa kamu jaga".
Informasi dari
Ibu saya, anak temannya mengajar ini namanya Ida, sedang kuliah di Jogja, sudah
semester akhir. Katanya saat ini ia sedang berada di Bima, lagi liburan menjelang Idul Fitri. Saya pun meminta Ibu saya untuk meminta nomor ponselnya
Ida langsung ke orangnya.
“Ma, waktu mama
minta nomor HP-nya Ida itu, bilang kalau saya yang meminta dengan tujuan ingin
kenalan. Jadi dia punya opsi untuk memberi atau tidak memberi, pokoknya jangan
memaksa,” ucap saya ke Ibu saya.
Kenapa hal itu
harus diperjelas dari awal? Menurut saya, tidak elok rasanya saya menelpon
seorang cewek dari nomor yang tiba-tiba saya dapatkan dari entah siapa.
Lagipula cewek itu mungkin udah punya cowok dan tidak bersedia berkenalan
dengan cowok lain yang tidak jelas maksud dan tujuannya.
Beberapa hari
kemudian akhirnya saya mendapatkan nomornya Ida dari ibu saya. Setelah saya
pastikan bahwa Ibu saya mengikuti protap permintaan nomor telepon sesuai yang
saya minta, akhirnya saya pun menghubunginya.
“Assalamualaikum.
Dengan Ida ya?”. Lalu dia menjawab salamku dengan suara yang begitu indah. Saya
sempat terdiam beberapa saat sampai akhirnya kembali tersadar dan langsung memperkenalkan
diri. Obrolan saat itu sangat singkat tapi di sinilah perjalanan panjang itu
berawal.(*).
0 komentar