Sumber gambar : imdb.com |
Ada tiga hal sederhana dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang menurut saya punya arti tersendiri.
Tiga scene yang diperankan Rangga ini mungkin muncul sekilas
tapi dia sepertinya dihadirkan menjadi potongan-potongan kecil untuk mendukung
satu cerita utuh dalam kisah Rangga Cinta.
Yang pertama saat Rangga sigap membayar
kacang rebus yang diambil Cinta. Adegan ini terjadi saat mereka berjalan kaki
sepulang dari kafe yang ada live music-nya. Sederhana sih, cuma
persoalan kacang seharga beberapa ribu perak. Tapi laki-laki memang harus begitu,
sigap, inisiatif, dan bisa diandalkan.
Yang kedua, saat Rangga mendatangi rumahnya Cinta malam-malam sebelum berangkat ke New York. Rangga tidak ingin bertamu atau menemui Cinta, tapi hanya memandangi rumah itu dari kejauhan. Untuk adegan ini, saya mengerti sekali perasaan Rangga karena hal ini hanya dilakukan oleh pria yang benar-benar sedang jatuh cinta kepada wanita.
Saat itu situasinya Rangga dan Cinta lagi
tidak akur. Cinta menyalahkan Rangga atas berubahnya sikapnya dia khususnya ke
teman-temannya. Sikap Cinta itu diwakili dengan kalimat :
“Sejak gue ketemu elu, gue jadi orang yang
beda. Orang yang nggak bener”.
Rangga kemudian menganggap sikap dan
perkataan Cinta itu adalah perlakuan yang tidak adil terhadapnya dan memutuskan
bahwa mereka tidak usah berhubungan lagi dan setelah ini tidak perlu lagi ada
maaf-maafan antara mereka.
Lalu kenapa perlu mendatangi rumahnya Cinta hanya untuk sekedar melihat dari kejauhan? Kalo dari pengalaman saya, alasan utamanya karena di diri Cinta masih ada jiwanya Rangga.
Ini tentang hati yang
telah jatuh dan akan diikhlaskan tetap terjatuh. Ini dilakukan pria pada
hubungan yang lagi renggang atau pada hati yang bertepuk sebelah tangan.
Terlebih saat itu Rangga akan berangkat jauh ke New York. Maka lengkaplah adegan itu menjadi sesuatu yang memiliki arti lebih.
Ketika pria sudah mulai belajar mengikhlaskan cintanya, maka hal pertama
yang dia lakukan adalah menghapus semua harapnya, kemudian menerka-nerka sejauh
apa potensi luka yang mungkin terjadi pada hatinya.
Walaupun pada akhirnya kita tahu bahwa
ternyata Rangga masih memiliki harapan akan cintanya. Ini tertulis dalam baris
puisi perpisahan yang legendaris itu :
“Tapi aku pasti akan kembali dalam satu
purnama. Untuk mempertanyakan kembali cintanya. Bukan untuknya bukan untuk
siapa, tapi untukku. Karena aku ingin kamu. Itu saja”.
Hal ketiga yang menurut saya sederhana di film ini tapi cukup bermakna, masih terkait dengan puisi perpisahan Rangga yang ditulis di buku diary-nya itu. Yaitu penempatan puisinya di halaman terakhir.
Seakan-akan itu memberi kesan bahwa kebersamaannya dengan Cinta adalah akhir
yang dia harap. Meskipun dia masih akan mengisi lembar-lembar kosong di
diary-nya, tapi lembar terakhir telah dimiliki oleh seorang perempuan bernama
Cinta yang binar matanya serupa karya Surga.(*)
0 komentar